Bima., Taroainfo.com- Kesadaran Kaum Intelektual Yang Hidup Di Gubuk Dinasti. Budaya mendinastikan pemerintahan dan kekuasaan dengan menciptakan pragmatisme politik mendorong keturunan untuk berkuasa. Dinasti politik yang di dasarkan secara murni pada hubungan darah langsung dalam keluarga yang biasanya memiliki romantisme nama besar keluarga menjamin suatu dinasti politik dapat eksis secara terus-menerus.
Hal ini di karenakan regenerasi kekuasaan tidak dilakukan secara matang, melainkan hanya mengejar pragmatisme dan ego-politik belaka. Asumsi lainnya dari trend keturunan yang aksidental ini untuk dicalonkan menjadi kepala daerah, Legislatif Sampai Ketua RT. Fenomena ini, si calon belum memiliki kapabilitas kuat dalam membangun daerahnya.
Jika dilihat dari fenomena sekarang di Bima, Politik by Design yang mengkooptasi partai dan memonopoli kehendak politik yang dikuasai secara keluarga, sehingga apapun agenda politik tentulah interest secara ego-politik kekeluargaan pun yang di utamakan untuk melanjutkan kekuasaan.
Mengindikasikan ingin mengembalikan sebuah Dinasti kekuasaan sebagai bentuk eksistensi dalam memonopoli kekuasaan politik, dengan syahwat berkuasa apalagi secara history adanya ketersinggungan politik yang memicu timbulnya ego dalam upaya merebut kekuasaan, asumsinya jika itu terjadi, hanya akan menimbulkan kepemimpinan bayangan bagi sebuah pemerintahan, walau secara kapabilitas dan kompetensi baik secara leadership, maupun track record bukan menjadi faktor yang utama melainkan sebuah regenerasi kekuasaan yang harus di kuasai oleh keluarga walaupun kaderisasi di partai banyak menghadirkan orang-orang yang berkompten akan tetapi kendali dalam memonopoli kekuasaan berpolitik dan mengkooptasi sebuah partai yang dikuasainya, kemungkinan besar, rakyat hanya akan disuguhkan aktor-aktor politik yang itu-itu saja yang berasal dari satu keluarga dan tidak jarang, aktor-aktor tersebut menerapkan pola kelakuan politik yang sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang sama. Bahayanya hasrat untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan dan kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis keturunan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan.
Kalau demikian keadaan politik yang terjadi di Kabupaten Bima dalam beberapa waktu terakhir ini, ideologi kekuasaannya akan terus menghegemoni kebebasan dan kemerdekaan rakyatnya. Sisa feodalisme yang terpatri pada kekuasaan itu, cenderung melanggengkan kekuasaan absolutismenya dan mereka akan berusaha menggerogoti setiap pikiran jernih yang berlawanan dengan kepentingan kekuasaannya.
Dalam kekuasaan seperti itu, potensi korupsi akan semakin merajalela, kolusi akan semakin kokoh, dan nepotisme akan sering terjadi. Kita sering benar melihat kekuasaan semacam ini, membiarkannya tanpa mengawasinya secara ketat, apalagi sampai berpikir untuk meruntuhkan sisa feodalisme yang dzolim itu.
Lembaga negara seperti legislatif tidak bisa lagi diharapkan untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah sebagaimana fungsinya, karena DPRD Kabupaten Bima sekarang dihuni dan dikomandai oleh seorang anak yang lahir dari rahim kepala daerah yang notabene ialah ibu kandungnya. Darah yang mengalir disekujur tubuh anak itu tidak mungkin memposisikan diri selaku pengawas apalagi melawan keputusan ibunya.
Jangan membiarkan kekuasaan otoriter menenggelamkan kesadaran intelektual kita, apalagi sampai mengebiri setiap usaha gerakkan perlawanan yang kita lakukan, rekonsiliasi moral perlu direncanakan untuk meruntuhkan dogma keraton kekuasaan. Kita memerlukan kekuatan dzikir, fikir dan jihad politik, agar racun politik dinasti tidak merambah pada setiap kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Pertanyaannya sekarang adalah “apa kabar para aktifis daerah?. Bagaimana pandanganmu melihat keadaan sosio-politik daerah yang di kebiri oleh dinasti sekarang?. Masih adakah sisa-sisa jiwa revolusionermu? Atau jangan-jangan para aktifis daerah sekarang sudah dibungkam dengan sesuap nasi?. Ah, sungguh memalukan sekaligus memilukan. Membiarkan akal nurani melanglang buana tanpa isi pikiran dan memenuhinya dengan sentiment.
Kaum intelektual harus mulai dari saat ini untuk bisa menyapu noda-noda hitam yang ada didunia politik. Kaum intelektual sebagai “Agen Of Change” yang mampu membawa bangsa Indonesia ke budaya politik beradab bukanlah sebuah hal yang utopis. Sejarah peradaban dunia ini telah membuktikan bahwa, di tangan kaum intelektual lah perubahan-perubahan besar terjadi. Dari zaman Nabi, zaman sahabat, zaman kerajaan, zaman kemerdekaan hingga reformasi, pemudalah yang selalu menjadi garda terdepan dalam setiap perubahan kondisi daerah dan bangsa ini.
Penulis : Abdul Gafur (Abdel)