Penulis : Oleh Rizal, Kader PMII Sumbawa. |
Sumbawa,Taroainfo.com-Inlander merupakan sebuah ejekan terhadap pribumi yang selalu menganggap dari luar (barat) itu baik, maju, modern, pantas. Dan dari budaya, negara, bangsanya itu selalu buruk, kolot, primitif, ketinggalan zaman, terbelakang, dan tidak pantas. Dengan kata lain, mental inlander adalah perasaan rendah hati sebagai bangsa Indonesia.
Seperti istilah populer di indonesia yang sering kita dengar "mental tempe", Ini cukup relevan dengan Inlander yang merupakan penyakit mental yang diwariskan semasa zaman Penjajahan (1600-1945). Ini terjadi diberbagai kalangan dimana warga pribumi selalu dijadikan kelas paling bawah diantara golongan masyarakat Eropa, Arab dan Cina pada masnya.
Kekalahan yang diderita selama ratusan tahun telah membentuk watak pecundang bagi sebagian besar masyarakat indonesia. Dimulai dari hilangnya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju, tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar, bahkan berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur dirinya sendiri.
Walaupun bangsa ini sudah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, namun penyakit inlander tidak serta merta hilang dari bumi pertiwi.
Ya kita harus akui kemampuan penjajah menciptakan mental inlander ini. Bukan hanya mengeruk kekayaan alam, tapi penjajah (yang belum merasa bersalah hingga hari ini) juga merusak mental bangsa hingga anak cucunya hari ini.
Akibatnya dihari ini saat mental bangsa sudah jatuh, maka sehebat apapun kita sebagai bangsa Indonesia, selalu akan terkebelakang dan tak mampu berkembang. Kita menjadi bangsa latah yang selalu tertinggal beberapa langkah.
Mungkin mental inlander masih abstrak bagi kita. Contoh sederhananya begini. Saat ketemu turis bule, langsung mau foto bareng. Entah bule itu seorang pejabat, artis, penjahat, atau apapun profesi dinegerinya, yang penting bule. Langsung mengajak untuk foto bareng. Lalu foto itu diupload di sosial media. Dengan bangga ia memperlihatkan bahwa ia sudah berfoto bersama orang Bule. Tentu beda konteksnya mahasiswa yang tugas belajar diluar negeri foto bareng dengan teman kuliahnya yang bule. Atau rekanan bisnisnya orang bule. Atau apapun yang memang memungkinkan seseorang pribumi berfoto bareng dengan orang Bule.
Di bidang mode, kita bisa temukan banyak orang Indonesia (yang berkulit bervariasi mulai agak putih, sawo matang, coklat kemerahan hingga hitam) yang suka mengecat rambutnya berwarna pirang. Rambut pirang yang pas serasi dengan kulit putih orang bule dipaksa ke kulit sawo matang dan hitam orang Indonesia. Tentu kita bisa bayangkan keanehannya. Tetapi itulah mental inlander. Berusaha nampak seperti orang bule. Tidak bersyukur dengan gen Indonesia.
Bukan hanya ABG dan Artis yang mengidap mental inlander. Namun parahnya, sebagian akademisi kita pun terjangkit. Parah malah. Akademisi yang bermental inlader, selalu "patuh" dalam mengutip. Ia adalah penurut yang baik. Ketika ia menulis, kita temukan banyak sekali kata "Menurut ini, menurut itu, menurut para ahli". Sungguh sangat penurut !!!. Seolah semua teori barat dan akademisi barat itu benar dan tak boleh dikritik. Seolah akademisi Indonesia tak mampu melahirkan teori yang lebih baik daripada mereka.
Kembali ke persoalan Mental Inlander, ini adalah produk hegemoni. Produk brain washing yang tak disadari. Kita tidak bangga sebagai bangsa Indonesia. Kita selalu tidak percaya diri. Memang keliru jika kita terlalu percaya diri. Memang kita harus banyak belajar pada barat, terutama tentang teknologi. Bukan gaya dan pola hidupnya. Di sisi lain, kita harus bangga dengan kearifan warisan leluhur kita. Kita harus bangga dengan gen Indonesia. Bangga dengan rambut dan warna kulit kita. Bangga akan kecerdasan kita untuk menyesuaikan teori dari luar yang tidak relevan dengan kondisi kita. Ya kebanggaan itu adalah modal dasar nasionalisme kita.
Pembenahan dapat dimulai dari penyadaran melalui pendidikan yang mencerahkan guna memupuk generasi muda sebagai agent of change agar tertanam kesadaran jati diri bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila. Jika kita tidak bangga akan keindonesiaan kita, tentu nasionalisme kita rapuh. Hasilnya, generasi akan lupa siapa akan jati diri dan penyakit ini menjadi jajan intelektual generasi muda.
*Editor/Red*