KOTA BIMA, TAROAINFO.com - Tim Pembebasan Lahan Sengketa Bersama Pelindo Bima Kelurahan Tanjung - Melayu Kota Bima (Tim 15) mengelar pertemuan dengan PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Bima di kantor Pelindo setempat, Senin (31/01/2022).
Kehadiran Tim 15 bersama puluhan warga Kelurahan Tanjung dan warga Kelurahan Melayu Kota Bima terkait lahan Pelindo yang ditempati warga tersebut hingga seratus tahun lalu, tepatnya sejak Tahun 1921 silam.
Sekretaris Tim 15 H. Gunawan S. Pd mengatakan, kehadiran Tim 15 di PT. Perindo ini sejak tim dibentuk Tahun 2012 lalu, yang sebelumnya disebut dengan Tim 9. Namun Tahun 2012 pihaknya sudah melakukan perjuangkan hingga ke meja DPRD Kota Bima, dan sejak tim ini terbentuk belum pernah berhadapan dengan Kepala Pelindo Bima, dan hari ini (Senin, red) baru bisa berhadapan dengan Menejer Terminal Pelindo Bima, Popi M. Aryono.
"Sudah jelas dalam undang-undang menyebutkan bahwa bumi dan isinya (tanah dan air) dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan oleh rakyat seutuhnya," ujar H. Gun sapaan akrabnya pada media.
Dalam audiensi Tim 15 tersebut, hanya diwakili oleh delapan orang perwakilan saja yakni, Habib Hasan (Ketua) H. Gunawan, S. Pd (Sekretaris) dan anggota H. Abdollaha, Hamid, Yusuf Muhammad, Salahudin Ab, Yunus Jamin dan Syarif Mustamin. Pasalnya, ruang manajer Pelindo sempit, sehingga puluhan warga lainnya baik dari Perwakilan Tanjung dan Melayu berada diluar kantor Pelindo.
Kata H. Gun, berdasarkan sejarah Tahun 1963 PT. Pelindo hadir di Bima, lebih duluan satu tahun hadir PT. Pelayanan Nasional Indonesia (Pelni) tepatnya Tahun 1962. Nah, terkait sengketa lahan milik Pelindo, akibat perubahan tapal batas pada Tahun 1982-1983 sebanyak tiga kali berturut-turut oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bima saat itu. Pertama pada Tahun 1982 didepan rumah H. Syafrudin ST. MM (Anggota DPR RI Fraksi PAN Dapil NTB),
kedua pada Tahun 1983 di Gudang Jawa Baru dan ketiga Tahun 1983 didepan Masjid Babu Salam.
"Sudah jelas tapal batas tanah milik Pelindo Bima, tepatnya berada di depan Kantor Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) Bima atau Polsek Kawasan Laut Bima sejak Tahun 1982 berdasarkan peta (gambar) yang dikeluarkan oleh pihak BPN dan Pelindo sendiri," terang wasit juri Tinju ini.
Peta Tanah Pelindo Bima
Ini Bukti Peta (gambar) yang dikeluarkan BPN dan Pelindo Tahun 1982 lalu dan bukti itu ada ditangan Tim 15 saat ini.
Tim 15 mempertanyakan ijin Hak Penggelolaan Lahan yang diterbitkan BPN berdasarkan usulan pihak Pelindo saat itu. Sebenarnya, H. Muhidin Cs (ada 12 nama warga) di Bagian Selatan Kali Romo, sudah menjual tanahnya, tapi ingat tanah yang dibeli oleh Pelindo dari 12 nama itu adalah tanah sudah Empang yang sudah dihempas oleh laut dan proses pembelian tanah bagi 12 nama tersebut, terjadi setelah perubahan tapal batas sebanyak tiga kali itu.
Anehnya di Tahun 1993 - 1995 muncul 3 sertivikat pengelolah lahan lagi atas nama Pelindo yang diterbitkan oleh BPN Bima. Sertivikat pertama dibagian Selatan (12 nama H. Muhidin Cs) Tahun 1993, kedua Tahun 1995 muncul di wilayah Kelurahan Melayu dijalan kepiting di 4 RT (dibagian Utara) dan ketiga di Kelurahan Tanjung RT. 02, 03 dan 14 di Tahun 1995.
"Munculnya sertifikat penggelolaan ini tanpa diketahui oleh warga yang mendiami lahan tersebut, dan dinilai muncul secara diam-diam, jadi satu setan dan satu binatang-pun tidak ada yang tahu munculnya sertivikat HPL dimaksud. Sementara warga yang menempati lahan tersebut sebanyak 4.730 warga tetap membayar SPPT/pajak bumi dan bangunan setiap tahun dan bukti penyetoran ke negara ada semua," beber H. Gunawan guru SMK Negeri 1 Kota Bima ini.
Jadi akibatnya, kami sebagai warga Tanjung dan Melayu belum Merdeka, dan masih tertindas. Pasalnya, sejak Tahun 1921 silam bunyut, kakek kami sudah menempati lahan negara ini, dan ini dosa-dosa oknum pegawai Pelindo sebelumnya.
"Saya nilai ada KKN (Korupsi) antara pihak BPN, Pelindo dan Pemerintah (oknum), karena mereka maling dengan merubah tapal batas sebanyak tiga kali," dugaannya.
Aji Gun juga menyampaikan, dua oknum Pelindo Bima sekitar Tahun 1980-an sempat ingin membayar lagi tanah diwilayah RT. 02 Lingkungan Tanjung senilai Rp. 110 per satu meter per segi, yang saat itu ingin dibayarkan pada H. Olah selaku Ketua RW 01. Namun saat itu, H. Olah menolak dan menyarankan untuk duduk bersama dulu dengan seluruh warga di Lingkungan RT. 02 dan kedua oknum pegawai Pelindo malah kabur. Tapi kok pulang dari rumah H. Olah beberapa waktu kemudian muncul lagi sertifikat ijin HPL bagi Pelindo lagi, tanya H. Gun ini kepada manajemen Pelindo saat audiensi.
Mudah-mudahan nasib warga Tanjung dan Melayu dari Nanga Malaju (Melayu bagian Utara) hingga Nanga Padolo (Paruga) - Tanjung Bagian Utara yang terjolimin hingga 100 tahun (Tahun 1921, red), bisa seperti harapan warga Bengkulu dan Badas satu bulan yang lalu diserahkan tanah oleh Pelindo dan Pemerintah setempat, dimana Bengkulu dan Badas memiliki masalah yang seperti yang dialami Tanjung dan Melayu saat ini. Selain itu, permasalahan Tanjung - Melayu dengan Pelindo sudah dari dulu, tapi selalu dimanfaatkan ketika momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) datany, yang selalu "dipolitisir," demikian uraian H. Gunawan.
Sementara itu, Menejer Terminal Pelindo Bima, Popi M. Aryono, mengatakan dirinya baru bertugas sejak 4 bulan lalu ditempatkan disini.
"Insya Allah kami akan sampaikan permasalah ini ke atas (pimpinan)," singkatnya.
Lanjut Popi M. Aryono, sedangkan terkait pintu gerbang yang sudah melewati tapal batas. Dirinya minta jangan dirobohkan (dibongkar) dulu oleh warga sesuai keinginan yang disampaikan perwakiln Tim 15, Salahudin AB. "Lebih baik kita duduk bersama lagi dulu dan kita akan cek pintu gerbang itu milik siapa sebenarnya," harap Mas Popi asal Jawa ini sambil menutup pertemuan ini, yang diawali pembacaan pernyataan sikap warga Tanjung - Melayu melalui Tim 15 oleh H. Gunawan dan terakhir sesi penyerahan surat pernyataan dan dokumen lainnya kepada pihak Pelindo dari Tim 15 yang diterima Manajer Pelindo ini.
*RED*