Foto: Fahriz Aditya Al-Fariz. |
Oleh: Fahriz Aditya Al-Fariz (Wartawan Media Online www.visionerbima.com)
PERISTIWA Hukum yang dihadapi oleh Wartawan di Indonesia, sesungguhnya bukan hal baru. Catatan pentingnya, lebih dari satu orang Wartawan di Indonesia yang dipenjara setelah divonis bersalah oleh pihak Majelis Hakim di masing-masing wilayah mereka bertugas. Kisah nyata itu mencerminkan adanya “konstruksi” dari Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) sesuai dengan UU Pers Nomor 40 tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Etika Wartawan Indonesia (KEWI) yang telah diberlakukan atas dasar kesepakatan Puluhan Organisasi Profesi Kewartawanan Indonesia di Bandung pada tanggal 6 Agustus tahun 1999.
UU Pers Nomor tahun 1999 merupakan regulasi sekaligus sebagai pedoman bagi Wartawan di Indonesia dalam setiap melaksanakan Tupoksinya, terutama dalam menyampaikan informasi kepada publik baik melalui Media Cetak maupun Media Elektronik (Media Online) melalui saluran Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Perintah UU Pers Nomor 40 tahun 1999 tersebut merupakan hal yang mutlak untuk dilaksanakan oleh Wartawan Indonesia dalam setiap menyampaikan informasi kepada publik baik melalui Media Sosial (Medsos) maupun di dunia nyata.
Dan UU Pers nomor 40 tahun 1999, KEJ dan KEWI tersebut telah lama diberlakukan dan masih berlaku sampai dengan hari ini. Baik KEJ maupun KEWI merupakan acuan yang mengatur tentang etika yang juga wajib dijujung tinggi oleh seluruh Wartawan di Indonesia.
Kode Etik Junalistik adalah etika profesi wartawan atau himpunan etika profesi kewartawanan. Sebagai profesional layaknya dokter, pengacara, dan profesi lain yang membututuhkan keahlian khusus wartawan terikat kode etik untuk menjalankan tugasnya dengan baik.
Berikut antara lain tentang penjelasan dari KEJ maupun KEWI:
Berikut ini Kode Etik Junalistik yang berlaku di Indonesia, mulai dari Kode Etik Jurnalistik versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), kode etik jurnalistik versi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan Dewan Pers, hingga Pedoman Pemberitaan Media Siber sebagai kode etik wartawan media online.
Kode Etik Junalistik PWI
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagaimana dirilis laman resmi PWI.
(Persatuan Wartawan Indonesia)
Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak
Mengingat negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945, seluruh wartawan Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan pancasila.
Maka atas dasar itu, demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan ini Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.
BAB I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
Pasal 1
Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada undang-undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban profesinya.
Pasal 2
Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
Pasal 3
Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.
Pasal 4
Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan.
BAB II
CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT
Pasal 5
Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.
Pasal 6
Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.
Pasal 7
Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.
Pasal 8
Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban.
BAB III
SUMBER BERITA
Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita.
Pasal 10
Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.
Pasal 11
Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.
Pasal 12
Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.
Pasal 13
Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini.
Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.
Pasal 14
Wartawan Indonesia menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan "off the record".
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 15
Wartawan Indonesia harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam melaksanakan profesinya.
Pasal 16
Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahawa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.
Pasal 17
Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihak pun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
Kode Etik AJI
Aliansi Jurnalis Independen percaya bahwa kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia.
Kode Etik AJI:
Dalam menegakkan kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik atas informasi, anggota AJI wajib mematuhi Kode Etik sebagai berikut :
1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
Penafsiran :
Informasi yang benar adalah informasi yang telah melewati verifikasi sesuai standar jurnalistik .
2. Jurnalis selalu menguji informasi dan hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
Penafsiran :
Cukup Jelas.
3. Jurnalis tidak mencampuradukkan fakta dan opini
Penafsiran :
Cukup Jelas.
4. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Penafsiran :
Informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik ialah segala bentuk informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyaksesuai dengan prespektif hak asasi manusia
5. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang tidak memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
Penafsiran :
Cukup Jelas.
6. Jurnalis mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan, pemberitaan serta kritik dan komentar.
Penafsiran :
Cukup jelas
7. Jurnalis menolak segala bentuk campur tangan pihak manapun yang menghambat kebebasan pers dan independensi ruang berita.
Penafsiran :
Cukup Jelas.
8. Jurnalis menghindari konflik kepentingan. Jika konflik kepentingan tak bisa dihindari, maka jurnalis menyatakannya secara terbuka kepada publik.
Penafsiran:
Konflik kepentingan adalah suatu keadaan yang bisa mengaburkan sikap jurnalis atau media dari misinya untuk menyampaikan berita yang akurat dan tanpa bias.
Menyatakan secara terbuka adalah menjelaskan posisi jurnalis dalam konflik kepentingan pada karya jurnalistiknya
9. Jurnalis dilarang menerima sogokan.
Penafsiran :
Yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan fasilitas lainnya, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam kerja jurnalistik. Jurnalis tidak menerima fasilitas peliputan dari pihak lain kecualihal itu merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh informasi yang penting bagi publik.
Rekomendasi : perlu diperjelas dalam kode perilaku
10. Jurnalis menggunakan cara yang etis dan profesional untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
Penafsiran:
Cara-cara etis dan profesional antara lain menunjukkan identitas kepada narasumber; tidak menyuap; dan tidak merekayasa pengambilan gambar, foto, dan suara. Penggunaan cara-cara tertentu, seperti teknik penyamaran, hanya bisa digunakan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
11. Jurnalis segera memperbaiki, meralat, atau mencabut berita yang diketahuinya keliru atau tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada publik.
Penafsiran :
Keharusan mencabut berita berlaku untuk berita yang secara substansial salah, misalnya berita bohong atau berita fiktif. Keharusan meralat berlaku untuk berita yang sebagian faktanya mengandung kekeliruan. Untuk media televisi dan radio mengacu pada P3SPS.
12. Jurnalis melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran :
Proporsional adalah pemberian ralat pemberitaan yang seimbang pada kesempatan pertama kekeliruan itu diketahui. Untuk media cetak penempatan ralat diletakkan sesuai regulasi dewan pers. Untuk media elektronik sesuai regulasi KPI. Pada media siber dilakukanpada updating berita yang sama.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
Penafsiran :
Cukup jelas
14. Jurnalis dilarang menjiplak.
Penafsiran
Cukup jelas
15. Jurnalis tidak menyembunyikan praktik-praktik tidak etis yang terjadi di kalangan jurnalis dan media.
Penafsiran
Cukup jelas
16. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, orang berkebutuhan khusus atau latar belakang sosial lainnya.
Penafsiran ;
Istilah kebencian mengacu pada ungkapan tidak senang (verbal dan non verbal) yang bersifat memusuhi, merendahkan, dan menghina yang ditujukan kepada individu atau kelompok tertentu.
17. Jurnalis menghormati hak narasumber untuk memberikan informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
Penafsiran :
Cukup jelas
18. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku serta korban tindak pidana di bawah umur.
Penafsiran :
Ketentuan penggunaan narasumber yang meminta dirahasiakan (anonim):
Berupaya mengidentifikasi narasumber, karena publik berhak mengetahui sebanyak-banyaknya informasi tentang ketepercayaan narasumber.
Selalu menguji motif narasumber sebelum menyepakati keanoniman.
Menyebutkan alasan keanoniman kepada publik.
Memegang teguh kesepakatan keanoniman.
Yang dimaksud anak di bawah umur mengacu pada UU Perlindungan Anak.
Yang dimaksud narasumber konfidensial adalah:
Orang-orang yang terancam keamanannya apabila identitasnya dibuka. Identitas yang harus dirahasiakan adalah segala informasi yang bisa membuat seseorang dikenali jati dirinya seperti nama, alamat, orang tua, nama sekolah, dan nama tempat kerja.
19. Jurnalis menghormati privasi, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran :
Privasi adalah segala segi kehidupan pribadi seseorang dan keluarganya. Pengabaian atas privasi hanya bisa dibenarkan bila ada kepentingan publik yang dipertaruhkan, seperti untuk membongkar korupsi atau mencegah perilaku yang membahayakan kepentingan umum. Jurnalis mengakui bahwa orang biasa memiliki hak lebih besar untuk merahasiakan privasinya daripada pejabat atau tokoh publik.
20. Jurnalis dilarang menyajikan berita atau karya jurnalistik dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik, psikologis dan seksual.
Penafsiran
Kekerasan psikologis adalah sebuah tindakan verbal maupun non verbal yang mengakibatkan trauma.
21. Jurnalis tidak beritikad buruk, menghindari fitnah, dan pencemaran nama baik.
Penafsiran :
Tidak beritikad buruk artinya tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam proses kerja jurnalistik, hal itu antara lain berupa kesengajaan tidak melakukan verifikasi dan konfirmasi.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
Kemerdekaan pers merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman masyarakat.
Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan suatu landasan moral/etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan professionalitas wartawan.
Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan Kode Etik:
Wartawan Indonesia menhormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebut identitas korban kejahatan susila.
Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahkan profesi.
Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik ini sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh Organisasi yang dibentuk untuk itu.
Bandung, 6 Agustus 1999
Kami atas nama organisasi wartawan Indonesia :
1. AJI Lukas Luwarso
2. ALJI Rendy Soekamto
3. AWAM Qohari Khalil
4. AWE Rusyanto
5. HIPSI M.A. Nasution
6. HIPWI R.E. Hermawan, S.
7. HIWAMI H. Erwin Amril
8. HPPI H. Sutomo Parastho
9. IJTI Achmad Zihni Rifai
10. IPPI Eddy Syahron Purnama
11. IWARI Ferdinad R.
12. IWI Rosihan Sinulingga
13. KEWADI M. Suprapto, S
BACA JUGA
SEO untuk Wartawan Media Online
Pengertian Doxing dan Kekerasan terhadap Wartawan
Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (Lengkap)
14. KO-WAPPI HAns Max Kawengian
15. KOWRI H. Lahmuddin B. Nasution
16. KWI Arsyid Silazim
17. KWRI R. Priyo M. Ismail
18. PEWARPI Andi Amiruddin M
19. PJI Darwin Hulalata
20. PWFI H.M. Sampelan
21. PWI Tarman Azzam
22. SEPERNAS G. Rusly
23. SERIKAT PEWARTA Maspendi
24. SOMPRI Yayan R.
25. SWAMI H. Ramlan M.
26. SWII KRMH. Gunarso G.K.
Penafsiran
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
Wartawan Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa melaporkan dan menyiarkan informasi secara faktual dan jelas sumbernya, tidak menyembunyikan fakta serta pendapat yang penting dan menarik yang perlu diketahui publik sebagai hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, akurat.
Contoh kasus : Kasus korupsi dan manipulasi disebuah instansi, baik pemerintah maupun swasta, konspirasi yang berniat menimbulkan kekacauan, wabah penyakit yang melanda daerah/wilayah tertentu, bahan makanan yang mengandung zat berbahaya dan atau tidak halal, yang dikonsumsi oleh masyarakat/publik, dll.
2. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
Wartawan Indonesia dalam memperoleh informasi dari sumber berita/nara sumber, termasuk dokumen dan memotret, dilakukan dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, kaidah-kaidah kewartawanan, kecuali dalam hal investigative reporting.
3. Wartawan Indonesia menghormati azas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
Wartawan Indonesia dalam melaporkan dan menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan.
Wartawan tidak memasukkan opini pribadinya. Wartawan sebaiknya, dalam melaporkan dan menyiarkan informasi perlu meneliti kembali kebenaran informasi.
Dalam pemberitaan kasus sengketa dan perbedaan pendapat, masing-masing pihak harus diberikan ruang/waktu pemberitaan secara berimbang.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
Wartawan Indonesia tidak melaorkan dan menyiarkan informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya, rumor atau tuduhan tanpa dasaar yang bersifat sepihak. Informasi yang secara gamblang memperlihatkan aurat yang bisa menimbulkan nafsu birahi atau mengundang kontroversi publik. Untuk kasus tindak perkosaan/pelecehan seksual, tidak menyebutkan identitas korban, untuk menjaga dan melindungi kehormatan korban.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
Wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun dari sumber berita/nara sumber, yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya, dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the records sesuai kesepakatan.
Wartawan Indonesia melindungi nara sumber yang tidak bersedia disebut nama dan identitasnya.
Berdasarkan kesepakatan, jika nara sumber meminta informasi yang diberikan untuk ditunda pemuatannya, harus dihargai. Hal ini berlaku juga untuk informasi latar belakang.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat pemberitaan dan penyiaran yang keliru dan tidak akurat dengan disertai permintaan maaf. Ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang salah atau tidak akurat.
Dalam hal pemberitaan yang merugikan seseorang atau kelompok, pihak yang dirugikan harus memberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi.
Pengawasan dan penetapan sanksi terhadap pelanggaran kode etik ini, sepenuhnya diserahkan kepada Jajaran Pers dan dilaksanakan oleh Organisasi yang dibentuk untuk itu.
Jakarta, 1 September 1999
1. Lukas Luwarso
2. R.H. Siregar, SH
3. Drs. J.B. Wahyudi
4. Drs. M.A. Nasution, SH
5. Tarman Azzam
6. S. Satria Dharma
7. Maspendi
8. Achmad Zihni Rifai
9. R. Priyo M. Ismail, SH
10. Sjamsul Basri
11. Drs. G. Rusly
Penjelasan baik dari UU Pers Nomor 40 tahun 1999, KEJ dan KEWI tersebut adalah wajib hukumnya untuk dihormati dan dijunjung tinggi oleh seluruh Wartawan di Indonesia dalam setiap melaksanakan Topoksinya. Sementara kisa nyata tentang tentang adanya oknum Wartawan yang terjerat oleh kasus hukum, bisa jadi karena “konstruksi” dari UU Pers Nomor 40 tahun 1999, KEJ maupun KEWI tidak dipahaminya secara utuh dan tidak pula dilaksanakanya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam menyampaikan informasi tentang berbagai peristiwa kepada publik melalui saluran yang telah disediakan.
“Kelemahan” tersebut, salah satunya tercermin kepada pemberitaan oleh oknum Wartawan terkait peristiwa hukum yang disampaikanya kepada publik (pemberitaan) namun dianggap jauh dari nilai-nilai kebenaran (informasi tidak berimbang, bersifat sepihak, jauh dari fakta dan bahkan dituding sebagai opini pribadi). Fatalnya, hal tersebut bukan saja memicu respon negatif dari banyak orang, terutama dari pihak objeknya hingga oknum Wartawan diseret ke lembaga hukum (ada yang sudah divonis penjara dan masih ada pula yang sedang berhadapan dengan proses hukum).
Padahal, sejatinya berita yang baik berdasarkan ketentuan yang telah diberlakukan tersebut adalah berita yang dikemas secara apik sesuai dengan kaidah-kaidah Jurnalistik sebagaimana telah dituangkan melalui UU Pers Nomor 40 tahun 1999, KEJ dan KEWI yang disepakati dan disahkan pada tahun 1999.
Misalnya, Watawan tidak secara serta-merta untuk langsung memberitakan setiap peristiwa yang diperolehnya, salah satunya adalah peristiwa yang erat kaitannya dengan persoalan tindak pidana (hukum). Tetapi, terlebih dahulu harus dilakukan cek, ricek dan kroscek guna memastikan tentang kebenaran dari peristiwa itu pula. Dan dengan itu pula, maka Wartawan tersebut dapat dianggap telah melaksanakan Tupoksinya dengan baik dan benar sebagaimana penjelasan dari UU Pers Nomor 40 tahun 1999, KEJ maupun KEWI.
Peristiwa hukum yang dihadapi oleh Wartawan Indonesia termasuk di Bima, nampaknya hingga hari ini belum juga usai. Kini di NTB terutama di Bima tengah dihadapkan dengan sebuah masalah sangat serius yang sedang dihadapi oleh oknum Wartawan pada Media Online “tertentu”. Yakni oknum Wartawan tersebut telah dilaporkan secara resmi oleh pihak Polda NTB melalui Polres Bima.
Laporan tersebut bermula dari adanya informasi dan pemberitaan yang telah disebar luaskan oleh Media tersebut yang dianggap jauh dari nilai-nilai kebenaran oleh pihak Pelapor. Yakni terkait dengan informasi dan pemberitaan yang menyebutkan bahwa Ditresnarkoba Polda NTB telah menangkap seorang oknum anggota Polres Bima Kabupaten Berpangkat Bripka berinisial ALF.
Ketegasan sikap pihak melapor dalam melaporkan kasus ini karena menganggap bahwa informasi dan berita yang telah disebar luaskan serta telah dikonsumsi oleh publik tersebut adalah hoax (bohong) serta menyesarkan publik. Pasalnya, pihak pelapor menegaskan tidak ada peristiwa penangkapan terhadap Bripka ALF, dan tidak pernah pula mengamankan Barang Bukti (BB) berupa Narkoba jenis sabu seberat 1 Ons dan mengamankan buku rekening berisikan uang sebesar Rp3 Milir sebagaimana narasi-narasi dari Media Online itu pula.
Sementara pertanyaan apakah Polda NTB serius menyikapi kasus itu secara serius atau sebaliknya, sesungguhnya jawabannya telah dimuat oleh sejumlah Media Online yang ada di NTB. Melalui saluran informasi tersebut, pihak Polda NTB bukan saja sekadar melakukan klarifikasi guna memulihkan kembali nama baiknya yang ditegaskannya telah dicemarkan melalui informasi dan pemberitaan hoax itu pula.
Tetapi keseriusan pihak Polda NTB dalam kaitan itu, tercermin melalui telah melaporkan secara resmi pihak-pihak yang menyebar luaskan informasi dan berita hoax itu di Mapolres Bima, Sabtu (5/2/2022). Dan penanganan kasus tersebut kini masih dalam wilayah Penyelidikan oleh Sat Reskrim Polres Bima dibawah kendali Kasat Reskrim, AKP Masdidin, SH.
Sikap tegas dan pilihan dari pihak Polda NTB dalam menggugat oknum-oknum yang terlibat dalam penyebaran Informasi serta berita hoax tersebut, ditegaskan sebagai bentuk keberatannya dan kesadaran hukumnya sebagai Lembaga Resmi Negara (Polri). Tetapi oknum Wartawan yang telah dilaporkan secara resmi oleh pihak Polda NTB terkait kasus itu, mungkin saja memiliki hak secara konstitusional untuk membela diri dan kemudian menyatakan bahwa informasi dan pemberitaan yang telah disebar luaskannya itu merupakan produk Jurnalistik serta telah memenuhi kaidah-kaidah Jurnalistik sebagaimana tertuang dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999, KEJ dan KEWI tahun 1999.
Sementara kebenaran sesungguhnya tentang kebenaran hakiki dari hal itu, tentu tidak sekedar diperoleh melalui asumsi atau argumetasi. Tetapi kebenaran itu harus dijelaskan secara akademik-detail melalui forum resmi, antara lain mediasi dan klarifikasi. Dan melalui forum resmi itu pula. Publik akan menjadi tahu apakah Tupoksi Jurnalistik telah dilaksanakan secara profesional, terukur dan bertanggungjawab atau sebaliknya. Menurut saya, kini publik masih menunggu “pengakuan jujur” agar masalah yang sedang dihadapi bisa diurai dan berakhir dengan Indah.
Dampak dari masalah serius tersebut bukan saja dirasakan oleh pihak yang telah menyebarluaskan informasi dan pemberitaan yang memicu ketegasan sikap dari pihak Polda NTB tersebut. Tetapi juga dirasakan oleh kalangan Wartawan yang ada di Bima dan bahkan di NTB.
Di berbagai sudut khususnya di Kota Bima, nada minor dari sejumlah pihak tertuju kepada Wartawan di Bima. Hal itu menurut saya, masih dianggap wajar karena secara umum masyarakat tidak bisa membedakan antara terduga pelaku dengan Wartawan lain yang tidak berkaitan dengan kasus hukum dimaksud.
Dari peristiwa itu pula, “Kini Dunia Kewartawanan di Bima Ternoda”. Kendati proses hukum terkait kasus tersebut sedang berjalan dan belum diputuskan oleh Aparat Penegak Hukum (APH), namun stigma publik terhadap kalangan Wartawan di Bima hingga kini belum juga usai. Dan stigma publik tersebut, diharapkan dapat dijadikan sebagai pelajaran penting khususnya bagi kalangan Wartawan yang ada di Bima.
Reaksi pihak pelapor maupun publik pasca terjadinya peristiwa itu, tentu saja memiliki landasan logis dan rasional menurutnya. Sebagai “kuli tinta”, saya harus belajar keras dari hal itu. Mengambil pelajaran penting bahwa sesugguhnya ruang-gerak Wartawan dalam menjalankan fungsi sosial kotrolnya selalu dikontrol dan diawasi secara ketat oleh publik (“tukang kontrol yang dikontrol”).
Olehnya demikian, reaksi publik khususnya pihak pelapor terkait kasus itu harus dijadikan sebagai salah jembatan bagi Wartawan agar ke depan mampu melaksankan Topuksinya sesuai dengan kaida-kaidah yang berlaku di NKRI (UU dan KUHP) yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di satu sisi, UU Pers tahun 1999 bersifat khusus. Namun demikian, di dalam UU tersebut juga telah menjelaskan kepada seluruh Wartawan di Indonesia wajib tunduk dan taat kepada ketententuan hukum yang berlaku di Indonesia (UU dan KUHP). Dan melalui ketentuan itu pula telah menegaskan bahwa setiap pelanggar hukum pasti dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku di NKRI ini.
Fakyta itu terlihat melalui divonis penjaranya oknum pejabat, oknum APH, oknum Wartawan dan lainya karena terlibat dalam kasus tindak pidana. Melalui masalah yang sedang dihadapi oleh kalangan Wartawan di Bima kendati bersifat individualistis itu, menegaskan bahwa sesungguhnya tak seorangpun di NKRI ini yang kebal terhadap hukum ketika ia terlibat dalam kasus tindak pidana.
Apakah masalah yang sedang terjadi tersebut akan berakhir melalui jalan musyawarah untuk guna mencapai kata mufakat atau sebaliknya, sungguh akan berpulang kepada kedua belah pihak. Dan apakah dalam kasus ini akan diterjemahkan (diakhiri) dengan menggunakan “teori pembalasan atau terori pembelajaran”?, hingga kini masih bersifat “misteri”. Damailah Negeriku. Damailah Bimaku. Damailah NTB. Damailah Indonesia.
#Hindari dan pertimbangkanlah terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu.
#Baik dan benar menurut kita, belum bentu baik dan benar menurut orang lain.
#Kebenaran yang sesungguhnya tercermin kepada perbuatan yang benar baik secara moral, Agama, sosial dan Budaya serta ketentuan hukum yang berlaku di NKRI ini.
#Dan sesugguhnya kualitas setiap orang tercerminkan kepada perilaku, tindakan dan keputusan yang ditonjolkannya.
#Semoga Allah SWT senantiasa bersama kita semua, Amin YRA.
#Penulis adalah Wartawan Junior di Media Online www.visionerbima.com
#Dan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak jika tulisan ini dianggap keliru atau terlalu berlebihan.