Foto: Penulis Hasnu Ibrahim Wasekjen PB PMII Bidang Politik, Hukum dan HAM/Koornas Pemantau Pemilu PB PMII. |
JAKARTA, TAROAINFO.COM.-Mengawali tulisan ini, ada beberapa pertanyaan besar yang penting kita jawab secara bersama-sama, apakah Oligarki di Indonesia telah hiilang pasca Soeharto runtuh? Bagaimana Oligarki berkuasa dalam system politik di Indonesia? Bagaimana cara rakyat Indonesia untuk menggagalkan penguasaan ekonomi politik oligarki dalam Pemilu 2024 mendatang?
Untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas, kita harus melompat ke beberapa konsep penting yang menjelaskan Oligarki di Indonesia serta bagaimana Kartel Politik beroperasi dalam mengeruk sumber daya publik dan kapan strategi kartel dimainkan dalam konteks pertarungan perebutan sumber daya ekonomi dan politik di tanah air.
Seperti yang ditulis Winters, di Indonesia, Oligark merupakan aktor sangat berpengaruh dalam ekonomi politik. Oligark muncul dan memperoleh kekuasaan semasa Orde Baru Soeharto dan transisi menuju demokrasi bukan merupakan gangguan siginifikan atau menyusutkan kekuasaannya.
Oligarki itu sendiri berubah secara drastis seiring tumbangnya rezim Soeharto dari Sultanistik ke penguasa kolektif dengan konsekuensi penting bagaimana cara pertahanan kekayaan diupayakan di jamin di Indonesia. Namun, Oligarki tidak lantas menghilang. Penekanan pada bagian ini adalah bagaimana kekuasaan oligarkis terejawantahkan di Indonesia kontemporer.
Pendapat Winters tersebut di atas kemudian disempurnakan dalam tesis Boni Hargens yang mengungkapkan terkait Kartel Oligarki di Indonesia Post Soeharto. Menurut Boni, pasca Soeharto tumbang, kekuatan ekonomi politik serta penguasaan atas basis sumber daya ekonomi dan politik di Indonesia bukan lagi dikuasai oleh oligarki tunggal, melainkan terdapat penguasa kolektif (bersama-sama) dengan menerapkan strategi kartel sebagai proses perkawinan silang antar oligarki dan partai politik kartel.
Pendapat senada dijelaskan Robinson dan Hadiz, Oligarki di Indonesia pada dasarnya tidak tumbang pasca reformasi atau jatuhnya Soeharto. Oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh skema neoliberalisme, misal demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi.
Bahkan, pasca krisis ekonomi di tahun 1998, oligarki dengan beragam cara mampu bertahan dan kembali menjadi pemain utama dalam dunia bisnis di Indonesia. Untuk itu, konfigurasi tatanan yang oligarkis sebanarnya tetap menjadi kekuatan ekonomi politik yang dominan di Indonesia pasca Orde Baru.
Sederet Partai Pendukung Calon Presiden jelang Pemilu 2024, paling tidak dalam gambaran publik untuk sementara ini terdapat 3 poros kekuatan politik. Partai pendukung Prabowo Subianto ada Gerindra, PKB, Golkar, PAN dan PBB. Kemudian, partai pendukung Ganjar Pranowo terdapat PDIP, PPP, Hanura dan Perindo. Selanjutnya partai pendukung Anies Baswedan seperti NasDem, Demokrat, PKS dan Ummat.
Pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana partai politik berkoalisi dan apa kepentingan terselubung dibalik koalisi yang dibangun dalam rezim demokrasi oligarkis? Merujuk Kuskrido Ambardi “Mengungkap Politik Kartel” terdapat 5 ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia; (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi: (3) tiadanya oposisi: (4) hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik: dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
Kerjasama politik antar partai politik dengan menjagohkan calon presiden masing-masing tengah disiapkan secara matang, walaupun ancang-ancang untuk keluar dari koalisi tidak menutup mata. Itu lah fakta politik, ia terlihat sangat dinamis, penuh ambisius, harus punya target yang jelas, saya mendukung siapa dan keuntungan apa yang akan saya peroleh, umumnya kita mengenal istilah “tidak ada makan siang gratis dalam politik”.
Koalisi politik pragmatis yang dibangun antar lintas parpol tentu sangat membahayakan tradisi demokrasi, di mana parpol permisif terhadap “budaya pragmatism poltik” sehingga seolah-olah membiarkan perdebatan ideologis, perdebatan gagasan dan perdebatan mulia cita-cita partai politik dibangun. Maka, ini ancaman serius terhadap demokrasi yang pada akhirnya akan merugikan rakyat Indonesia.
Mengungkap Koalisi Oligarki dalam Pemilu
Untuk melihat secara terang benderang terkait koalisi oligarki dalam Pemilu di Indonesia, sebetulnya telah diungkap secara transparan dalam konsep kartel oligarki yang dijelaskan Boni Hargens. Menurutnya, kartel oligarki adalah sebuah strategi politik dari beberapa elit untuk mengontrol sumber-sumber ekonomi dengan mengkooptasi negara dengan tujuan mempertahankan privilege (hak istimewa) yang telah didapat melalui interpenetrasi kolusif dengan negara.
Bahkan, jelas Boni, membaca perpolitikan Indonesia kontemporer, fenomena kartel oligarki ini bukan saja sebagai trend baru dalam panggung politik Indonesia, akan tetapi ia merupakan ancaman serius terhadap kekuatan partisipatif (kekuatan demokrasi) di mana kekuasaan penuh dalam mengontrol proses politik dengan menggunakan pola kerja kartel. Mereka adalah sejumlah kecil elit yang memiliki sumber daya ekonomi yang sangat besar dan dengan sumber daya tersebut kemudian menguasai praktik politik atau campur tangan dalam pembuatan kebijakan dan pembuatan undang-undang.
Pemikiran yang mendasarinya adalah bahwa ada kontes antara kekuatan kekayaan (oligarki) dan kekuatan partisipasi (demokrasi). Kekuatan dari kekayaan mengontrol partai dan dan lembaga pemerintah. Terlepas dari kehadiran kekuatan partisipasi, bagaimanapun, tidak ada keseimbangan antara kekuatan kekayaan dan partisipasi kekuasaan, karena kontrol formal politik berada di tangan oligarki partai. Partai oligark yang mengimplementasikan strategi kartel dalam menjaga status quo melalui kolusi antar partai dan interpenetrasi negara partai (Boni Hargens, 2020).
Mengungkap Oligarki dalam Pemilu 2019
Melihat Oligarki dalam Pemilu 2019 seperti terekam pada laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dengan judul “Oligarki Tambang Dibalik Pilpres 2019”. Laporan JATAM, menyebut sejumlah nama pejabat penting yang berafiliasi dengan bisnis-bisnis pada sektor pertambangan batu bara dengan sejumlah Perusahaan dibaliknya baik pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun pendukung Prabowo-Sandi. Mereka dalam laporan itu disebut “Oligarki Tambang” dalam Pemilu Presiden 2019.
Kendati demikian, dalam laporan Koalisi Bersihkan Indonesia dengan judul “Omnibus Law Kitab Hukum Oligarki” yang menjelaskan lebih lanjut terkait keterhubungan oligarki dengan Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam laporan yang dirilis 2020 tersebut, mengungkap 12 aktor intelektual baik dalam panitia kerja (Panja) DPR RI dan satuan tugas (satgas) yang menggoalkan Omnibus Law Cipta Kerja 2020. Mereka adalah sejumlah politisi dan elit parpol dan sejumlah pengusaha papan atas di Indonesia. Maka, sangat terang benderang dalam melihat korelasi antara politik, pemilu dan kekuasaan di Indonesia.
Menggagalkan Koalisi Oligarki pada Pemilu 2024
Menggagalkan koliasi oligarki pada pemilu 2024 mendatang bukan perkara mudah, melainkan butuh komitmen bersama, memerlukan formulasi strategi yang tepat, serta mengharapkan persatuan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.
Pertama, memaksimalkan proses pendidikan politik. Hal ini agar melahirkan Masyarakat yang partisipatoris, melek terhadap diskursus politik, demokrasi dan pemilu. Pada akhirnya, rakyat akan sadar bahwa pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin publik baik legislative maupun eksekutif yang dapat mewakili kepentingan rakyat banyak bukan rakyat segelintir.
Kedua, membangun koalisi rakyat. Persatuan rakyat Indonesai menyambut pemilu 2024 sangat diharapkan. Tujuuannya adalah agar senantiasa massif dalam mengkampanyekan bahaya oligarki dalam pemilu, kemudian menyampaikan mossi tidak percaya terhadap parpol oligarki, serta para bandar-bandar politik yang membackup Mereka melalui sejumlah pendanaan kampanye politik dari uang illegal, uang hasil korupsi, uang dari proses peredaran gelap narkoba, dan uang hasil kejahatan lingkungan seperti yang dirilis Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini.
Ketiga, Gerakan Indonesia Bersih. Rakyat harus terlibat sebagai pemantau pemilu. Gerakan Indonesia bersih merupakan suatu gerakan rakyat secara alami di mana publik melakukan audit terhadap dana kampanye parpol, sumber bantuan parpol, dan kepatuhan pelaporan. Hal ini penting dan dijamin secara konstitusional.
Keempat, Menghidupkan Forum Muda Partisipasi. Kita tahu bahwa pemilih pada pemilu 2024 mendatang sekitar 65 persen adalah anak muda dari klauster Milenial dan Gen Z. Maka dari itu, tugas kita adalah secara kolektif dan proaktif agar mendorong calon pemimpin public pada diskursus populis seperti apa visi dan misi yang akan dibangun, bagaimana strategi mengatasi kemiskinan, mengatasi krisis lingkungan, bagaimana menciptakan lapangan kerja muda, bagaimana desain Pendidikan, seperti apa konsep Pembangunan dan pemerataan serta sejumlah isu penting lainnya. Sehingga public dapat mengetahui secara pasti ke mana arah visi dan misi calon pemimpin 2024 mendatang.
Penulis: Hasnu Ibrahim Wasekjen PB PMII Bidang Politik, Hukum dan HAM/Koornas Pemantau Pemilu PB PMII.